Selamat Datang..!!Kecenderungan manusia untuk saling berbagi, membawanya berfikir dan memanfa'atkan segala media yang ada demi termanifestasikanya sebuah intraksi

Selasa, 01 November 2011

Pemikran Al-Ghazali


Pendahuluan
Ketokohan dan kesarjana’an al-Ghazali  dalam beberapa bidang tidak dapat dinafikkan. Sumbangsih beliau dalam berbagai pemikiran disiplin ilmu telah beliau telorkan, baik pemikiran beliau mengenai ushuluddin, akidah, filsafat, fiqh, tasawuf, pendidkan dan lain sebagainya, melalui bukti kitab-kitab karya  beliau.
 Dalam ushuluddin dan akidah kita mengenal karya beliau yaitu:
1.      Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahiru al-Qur’an.
2.      Qawaidul Aqaid, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3.      Al-Iqtishad Fi al-I’tikad
4.      Tahafut Al-Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah madzhab Asy’ariyah.
5.      Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zabsiqah.
Dalam ilmu ushul, fikih, fisafat, mantiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, diantaranya:
1.      Al-Mustashfa Min al-Ilmi al-Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fikih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar mantiq dab pembahasan ilmukalamnya. Mahakun Nadzar.
2.      Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq
3.      Ma’ariful Aqliyah. kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdul Karim Ali Utsman
4.      Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
5.      Al Maqashad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Mizanul Amal. KItab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
6.      Al Madhmun Bihi Ala Ghairi AhlihiAl Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masa’il Ukhrawiyah.
7.      Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
8.      Qanun At Ta’wil.
9.      Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini meripakan bantahan beliau terhadap sekte bathiniyah.
10.  Iljamul Awam An Ilmil Kalam. KItab ini telah diterbitkan berulangkali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tasim Billah Al Baghdadi.
11.  Raudlatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, deterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
12.  Arrisalah Alladuniyah.
13.  Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang paling populer dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia, dan yang akan kita diskusikan besok pada tanggal 12 November 2011.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam sejarah Al-Ghazali banyak sekali menerima kritikan, sehingga ada seorang sultan yang memerintahkan agar kitab-kitab beliau dibakar. Al-Hafidz al-Dzahabi (meninggal 748H) mengutip dari Mu’jam Abi Al- Sadafi “Al-Syeikh Abu Hamid mempunyai berita-berita yang buruk dan karya-karya yang besar meliputi tariqat,tasawuf, filsafat itu semua beliau tuliskan demi membela madzhabnya, dan untuk mengajak manusia supaya mangikuti madzhabnya. Sebagian orang telah berburuk sangka terhadap Al-Ghazali, telah dilaksanakan perintah sultan di negeri kami al-Maghribi (Andalus), juga fatwa para fuqoha agar kitab-kitab al-Ghazali dijauhi dan dibakar, dan ini semua telah dilaksankan”[1]
Namun juga tak jarang orang yang mengaguminya, seperti yang dituturkan oleh Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London Inggris, tahun 1944, Smith mengatakan “Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa”. Masih menurut Smith, salah seorang pemikir Kristen terkemuka yaitu ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M), Sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali . Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan di Barat. Ia telah mengakui kehebatan al-Ghazali dan merasa telah berhutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran –pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudaya’an dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidkan Barat. Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-anganya bahwa seandaina ada seorang nabi setelah Muhammad, maka al-Ghazali-lah orangnya (R.A Nicholson, 1976). pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Pembahasan
A.Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan Iran,  pada tahun 450 H/1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra  yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[2] Disini penulis sengaja menulis sedikit tentang biografi al-Ghazali, karna fokus bahasan ini penulis tekankan terhadap “pemikiran beliau” sebagai pengantar diskusi HMJ Ushuluddin STAIN Pekalongan.
B.Pemikiran Al-Ghazali.
a.      Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatianya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutama’an dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagia’an diakhirat serta sebagai alat untu mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendididkan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadianya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[3] Maka system pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikam itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1.      Mendekatkan diri kepda Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3.      Mewujudkan profesionalitas manusisa untuk mengemban tugas kedunia’an dengan sebaik-baiknya.
4.      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendfaham budi dan sifat-sifat tercela.
5.      Mengembangkan sifat-sufatr manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan manurut al-Ghazali, dapat dimengrti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam persepsisnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalau bergantung pada orang lain. Dlam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangakn yang menjdi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[4]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagia’an dunia akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.Manusia adalah sebyek pendidikan, sedangakan pendidikan itu sangat penting.  Bagi  al-Ghazali metode pendidkan ada dua :
1.      Metode khusu pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prisipnya dimulai dengan hafaln dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang biasa menunajang penguatan akidah.
2.      Metode khusus pendidikan akhlak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : Suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[5]
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pemdidikan itu harus mengarah kepada pemebntukan ahlak mulia, sehingga ia menjadikan al-Qur’an sebagau kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga mnyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pemdina’an itu adadua yaitu :
1.      Kesempurna’an insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
2.      Kesempurna’an insani yang bermuara pada kebahagia’an dunia dan akhirat.

b.      Filasafat.
Tidak berlebihan jika kita mengatakan Al Ghazali adalah sang pemikir besar didalam Islam. Karna dia memberikan pengaruh yang sangat besar dan memberikan wajah baru pada dunia Islam. Hal ini terbukti dari kemampuannya mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai keislaman yang sangat merosot pada saat itu.
Ia hidup disaat nilai keislaman mengalami dekadensi sedemikian rupa dan keimanan pada dasar-dasar kenabian serta hakekat dan pengamalan agama yang sangat merosot. Penafsiran filosufis yang dilakukkan oleh filsuf Islam sebellumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani.[6]
 Dalam menyampaikan pendapatnya, Al Ghazali banyak mengeritik para filsuf dengan bukunya yang berjudul tahafut al falasifah, Tetapi Ibnu Rusyd tidak mau kalah, dia lalu memberikan jawaban terhadap keritik Al Ghazali tersebut dan menyerang balik Al Ghazali, dengan buku nya yang berjudul tahafut al tahafut. Tidak hanya sampai disini, serangan pena terhadap Al Ghazali oleh Ibnu Rusyd terlihat sengit dengan buku yang ditulis Ibnu Rusyd fashl al maqal fi ma bayna al hikmah wa asy-syai’ah min al ittihal, _buku ini ditulis untuk mengkritik pendapat-pendapat Al Ghazali di kitab faishal al tafriqah bayna al islam wa az-zandaqah.[7]
Seperti dikethui , sebelum melkukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dulu mempelajari filsafat (baca filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu :
1.      Dahriyyun (mirip aliran matrialisme).
2.      Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis).
3.      Ilahiyyun (mirip aliran Deisme).
Aliran yang pertama mengingkari ketercipta’an alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, takada yang menciptakan. Binatang tercipta dari nutfah dan nufah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali cebagai kaum zindik (Zanadikoh).
Aliran yang kedua aliran yang bamyak meneliti dan mengagumi cipt’an Tuhan, mengakui adanya Tuhan tapi justru mereka berkesimpulan” tidak mungkin yang telah tiada kembali” menurtnya jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurutal-Gazali meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dqab sufat-sifat-Nya, tetapi juga ternasuk Zandikoh karena mengingkari hari akhir yang juga ternasuk pangkal iman.
Aliran yang ketigha ialah kelpmpok ang dating paling kenudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Menurut al-Ghazali Aristoteles lah yang berhasul menyusun logika (manthiq) dan ilmu penegtahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikiranya yang wajib dikafirkan.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga fisafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkna kacau (tahafut). Mlahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh masalah yaitu : 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alam kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempuyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakikat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalh binatang yang bergerak dengankemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juzi’yyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10.
Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan accident; 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok ketidak sanggupan para Filosof membuktikan hal-hal berikut : 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalh cipta’an Tuhan; 15. Adanay Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahhui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20.[8] Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Menurt al-Ghazali, dari dua puluh maslah tersebut, tiga diantaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali ditempat lain, karena mempunyai pendapt demikian tidak mesti dikafirkan.
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begiu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok alirandalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu, pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intlektual dan pemikir. Kedua, kelompok Bathiniyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam alin Syia’ah Ismai’iliyah yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajran daripadnya sebara gaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang diklatakan sebagai kalangan elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).
Melihat semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan belum menemukanya, al-Ghazali pernah selama dua bulan menglami penyakit syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pecarianya setelah sembuh dari penykitnya.
Sementara ahli mengatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazlai adalh syak dalm pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari idola (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif dapat mnyimpulkan kebenaran hakiki.
Menurut al-Ghazali, kebenran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenaranya tanpa sdikitpun keraguan. Kata-nya ; Jika kuketahui sepuluh adalh lebu\ih banyak dari tiga dan orang yang mengtakan sebaliknya dengan bukti seajaib tingkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengatahuanku.[9] Dengan kata lain, disamping mengandung pengrtian tentang keykinan, al-Ghazali dipihak lain, membenarkan pengtahuab yabg tudak empiric, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan kerguan (skeptik-metodik).
Pokok Perdebatan al-Ghazali
Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menrima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Maskipun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim.
Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang beberapa masalah. Pertama; masah qadimnya alam, bahwa tercipta dengan tidak brmula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalh Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits. Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulakn faham:
1.      Banyaknya yang qadim atau banyknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
2.      Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbeda’an tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats menndung arti menciptakan dari tiada (creation ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari ada. Kata Ibnu Rusyd, adam (tiada) tidak akan bias berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adlah wujud berubah menjadi wujud dalam dalam bentuk lain. Oleh karena itu, metri asal, y6ang daru padany alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, pencipta’an dari tiadalah yang memastikan adnya Pencipta. Oleh sebab itu alam pasti baru dan diciptakan dari tiada.[10]
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptahan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya (Editor kitab Tahafut al-Falasifah) mencatat al-Ghazali sebagai baiana al-falsifah wa al-mutakallimin, karean sebara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi karena itu juga, dilain pihak justru al-Ghazali dinilai kacau cara berfikirnya oleh Ibnu Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosofdan sebagai sufi.
           
c.       Tasawuf
Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi.  Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian;
“ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.[11]
[i]Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia.[12]
Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.[13]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi”.[14]
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”.[15]
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.” [16]
Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali
Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kema’rifatan, karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.
Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :
1.      Bab pertama : Tentang ibadah (rubu’ al-iabadah).
2.      Bab kedua : Tentang adat istiadat (rubu’ al-adat).
3.      Bab ketiga : Tentang hal-hal yang mencelakakakn (rubu’al-muhlikat).
4.      Bab kekempat : Tentang maqamat dan ahwal (rubu’al-munjiyat).
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.




[1]  Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala, 19/327 Beirut :Muassasah al-Risalah.
[2] .C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[4] Ibid, hlm. 94.
[5]  Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[6] Drs. H. A. Mustofa, filsafat islam, Bandung; Pustaka Setia, 2007, halaman.217.
[7] Zuhairi misrawi, Ibnu rusyd gerbang pencerahan timur dan barat, kramat jati Jakarta
[8] Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Editor : DR. Sulaiman Dunya,Dar  al-Ma’arif,Mesir.
[9] Al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5).
[10] Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, hal. 9.
[11] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta. Cet I. hal. 69. Th. 2000 M.
[12] Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet. II. Hal. 152. Th. 2002.
[13] Al-Ghazali, ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15.
[14] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 95
[15] Ibid 96
[16] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96



Tidak ada komentar:

Posting Komentar