Selamat Datang..!!Kecenderungan manusia untuk saling berbagi, membawanya berfikir dan memanfa'atkan segala media yang ada demi termanifestasikanya sebuah intraksi

Sabtu, 19 November 2011

Simiotika dan yang Transenden

Menarik sekali membaca penulisan ulang Ramayana oleh romo Sindhunata dalam novel anak bajang menggiring angin Kisah bermula dengan Begawan Wisrawa yang mencoba meminangkan Dewi Sukesi dari Alengka untuk dipersunting anaknya, Prabu Danareja. Namun Sukesi hanya ingin mengawini seseorang yang dapat menjelaskan hakikat sasta jendra hayuningrat pangruwating diyu. Begawan Wisrawa memiliki kemampuan tersebut. Walaupun penyingkapan hakikat itu begitu berbahaya, karena dapat mengaburkan tatanan semesta. Sastra Jendra menyingkap rahasia kesatuan semesta, dimana kemajemukan ciptaan pada akhirnya hanyalah ketunggalan azali.
Dan alam semesta hanyalah bentangan penanda, sebuah permadani semiotika yang realitasnya hanya ada pada Penanda Awal. Bak ombak keras menderu yang mampu mematahkan gemuruh angin, tetapi pada akhirnya ombak tak memiliki realitas kecuali sebagai bagian dari laut. Dan bentangan penanda pada akhirnya hanyalah bagian dari sebuah kesatuan utuh. Kesatuan yang biasa kita sebut dengan Yang Ilahi. Namun Yang Ilahi harus tetap terjaga. Ia adalah standard dari pemaknaan semesta. Tanpa Yang Ilahi, penanda-penanda akan urung bertutur. Dan karenanya, Yang Ilahi harus menjadi sebuah kategori transenden. Sesuatu yg tak akan diketahui namun diperlukan keberadaannya.Kembali ke novel romo Sindhu, karena cintanya pada sang anak, Begawan Wisrawa akhirnya menyingkap tabir realitas dalam sastra jendra. Namun Yang Ilahi melakukan intervensi. Batara Guru dan Dewi Uma menggagalkan penyingkapan tersebut. Yang Ilahi memunculkan dorongan nafsu birahi pada Sukesi dan Wisrawa, sehingga keduanya menghidupkan malam dengan menyetubuhi sesama. Penyingkapan terhenti, digantikan oleh kenistaan manusiawi yang selamanya tak akan bisa menggapai keilahian. Secercah kebirahian, menumpas aspirasi keilahianLalu mengapa Batara Guru menggagalkan kebahagian manusia? Apakah benar Yang Maha Bijaksana mencemburui kenikmatan insani? Tidak. Batara Guru menggagalkan penyingkapan karena justru yang Ilahi sebagai yang transenden harus tetap terjaga. Jika transendelitas Yang Ilahi tak lagi terjaga, maka proses signifikasi semesta sebagai penanda tak dapat lagi teruntai. Proses signifikasi semesta memerlukan sesuatu diluar sana yg tak berubah. Sebuah realitas yang tak menjadi bagian dari proses signifikasi. Yang Transenden, menjadi signifikasi dari proses signifikasi itu sendiri. Sebagai realitas yang memungkinkan kemajemukan. Karena keterjagaan Yang Ilahi, proses signifikasi yang melahirkan semesta dapat terus bergulir. Dan dengannya manusia menjadi ada dan bermakna.Jalinan penanda semesta melahirkan aliran waktu yang mengiringi manusia. Karenanya, sejarah manusia dapat muncul dan kisah perjalanannya dapat ditorehkan. Intervensi Batara Guru dalam menjaga Yang Transenden memungkinkan bermulanya kisah Ramayana. Kisah kehidupan dan keberadaan manusia di dunia dan dalam waktu terus berlanjut selama Yang Ilahi tetap sebagai ada sebagai yang Transenden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar