Pendahuluan
Ketokohan dan kesarjana’an al-Ghazali dalam
beberapa bidang tidak dapat dinafikkan. Sumbangsih beliau dalam
berbagai pemikiran disiplin ilmu telah beliau telorkan, baik pemikiran
beliau mengenai ushuluddin, akidah, filsafat, fiqh, tasawuf, pendidkan
dan lain sebagainya, melalui bukti kitab-kitab karya beliau.
Dalam ushuluddin dan akidah kita mengenal karya beliau yaitu:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahiru al-Qur’an.
2. Qawaidul Aqaid, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
4. Tahafut
Al-Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran
para filosof dengan menggunakan kaidah madzhab Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zabsiqah.
Dalam
ilmu ushul, fikih, fisafat, mantiq dan tasawuf, beliau memiliki karya
yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal,
diantaranya:
1. Al-Mustashfa
Min al-Ilmi al-Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul
fikih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar mantiq dab
pembahasan ilmukalamnya. Mahakun Nadzar.
2. Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq
3. Ma’ariful Aqliyah. kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdul Karim Ali Utsman
4. Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
5. Al Maqashad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Mizanul Amal. KItab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
6. Al Madhmun Bihi Ala Ghairi AhlihiAl Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masa’il Ukhrawiyah.
7. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
8. Qanun At Ta’wil.
9. Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini meripakan bantahan beliau terhadap sekte bathiniyah.
10. Iljamul Awam An Ilmil Kalam. KItab ini telah diterbitkan berulangkali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tasim Billah Al Baghdadi.
11. Raudlatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, deterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
12. Arrisalah Alladuniyah.
13. Ihya’
Ulumuddin. Kitab yang paling populer dan menjadi salah satu rujukan
sebagian kaum muslimin di Indonesia, dan yang akan kita diskusikan besok
pada tanggal 12 November 2011.
Namun
tidak dapat dipungkiri dalam sejarah Al-Ghazali banyak sekali menerima
kritikan, sehingga ada seorang sultan yang memerintahkan agar
kitab-kitab beliau dibakar. Al-Hafidz al-Dzahabi (meninggal 748H)
mengutip dari Mu’jam Abi Al- Sadafi “Al-Syeikh Abu Hamid mempunyai
berita-berita yang buruk dan karya-karya yang besar meliputi
tariqat,tasawuf, filsafat itu semua beliau tuliskan demi membela
madzhabnya, dan untuk mengajak manusia supaya mangikuti madzhabnya.
Sebagian orang telah berburuk sangka terhadap Al-Ghazali, telah
dilaksanakan perintah sultan di negeri kami al-Maghribi (Andalus), juga
fatwa para fuqoha agar kitab-kitab al-Ghazali dijauhi dan dibakar, dan
ini semua telah dilaksankan”[1]
Namun
juga tak jarang orang yang mengaguminya, seperti yang dituturkan oleh
Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang
diterbitkan di London Inggris, tahun 1944, Smith mengatakan “Tak
diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para
sarjana di Eropa”. Masih menurut Smith, salah seorang pemikir Kristen
terkemuka yaitu ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M), Sangat terpengaruh
dengan buah pemikiran Al-Ghazali . Aquinas merupakan filsuf yang kerap
dibangga-banggakan di Barat. Ia telah mengakui kehebatan al-Ghazali dan
merasa telah berhutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu.
Pemikiran –pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir
Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudaya’an
dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidkan Barat.
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-anganya bahwa
seandaina ada seorang nabi setelah Muhammad, maka al-Ghazali-lah
orangnya (R.A Nicholson, 1976). pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya
dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi
itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan
Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam,
filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan
untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang
membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang
berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis
Madjid, 1996).
Pembahasan
A.Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan Iran, pada
tahun 450 H/1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil
tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela
Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang
menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh
dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari
berbagai serangan.[2]
Disini penulis sengaja menulis sedikit tentang biografi al-Ghazali,
karna fokus bahasan ini penulis tekankan terhadap “pemikiran beliau”
sebagai pengantar diskusi HMJ Ushuluddin STAIN Pekalongan.
B.Pemikiran Al-Ghazali.
a. Pendidikan
Al-Ghazali
adalah orang yang banyak mencurahkan perhatianya terhadap bidang
pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu
sendiri adalah keutama’an dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu
menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat
nilai-nilai yang dikandungya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang
akan mengantarkan anda kepada kebahagia’an diakhirat serta sebagai alat
untu mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh
karena itu ia menyimpulkan bahwa pendididkan adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadianya sampai akhir hayatnya melalui berbagai
ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua
dan masyarakat.[3] Maka system pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikam itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1. Mendekatkan diri kepda Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3. Mewujudkan profesionalitas manusisa untuk mengemban tugas kedunia’an dengan sebaik-baiknya.
4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendfaham budi dan sifat-sifat tercela.
5. Mengembangkan sifat-sufatr manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak
dari pengertian pendidikan manurut al-Ghazali, dapat dimengrti bahwa
pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan
dalam persepsisnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak
awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalau bergantung
pada orang lain. Dlam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang
bergantung disebut murid sedangakn yang menjdi tempat bergantung disebut
guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[4]
Oleh
karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menju manusia sempurna yang
dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagia’an dunia akhirat yang hal
ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia
hidup selalu berkedudukan sebagai murid.Manusia adalah sebyek
pendidikan, sedangakan pendidikan itu sangat penting. Bagi al-Ghazali metode pendidkan ada dua :
1. Metode khusu pendidikan agama
Menurut
al-Ghazali metode ini pada prisipnya dimulai dengan hafaln dan
pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah
itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang biasa menunajang
penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan akhlak
Akhlak
menurut al-Ghazali adalah : Suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya
yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan
pemikiran terlebih dahulu.[5]
Dengan
adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pemdidikan
itu harus mengarah kepada pemebntukan ahlak mulia, sehingga ia
menjadikan al-Qur’an sebagau kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga
mnyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pemdina’an itu adadua
yaitu :
1. Kesempurna’an insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
2. Kesempurna’an insani yang bermuara pada kebahagia’an dunia dan akhirat.
b. Filasafat.
Tidak
berlebihan jika kita mengatakan Al Ghazali adalah sang pemikir besar
didalam Islam. Karna dia memberikan pengaruh yang sangat besar dan
memberikan wajah baru pada dunia Islam. Hal ini terbukti dari
kemampuannya mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai keislaman yang
sangat merosot pada saat itu.
Ia
hidup disaat nilai keislaman mengalami dekadensi sedemikian rupa dan
keimanan pada dasar-dasar kenabian serta hakekat dan pengamalan agama
yang sangat merosot. Penafsiran filosufis yang dilakukkan oleh filsuf
Islam sebellumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam,
melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang
terdapat dalam pemikiran Yunani.[6]
Dalam menyampaikan pendapatnya, Al Ghazali banyak mengeritik para filsuf dengan bukunya yang berjudul tahafut al falasifah,
Tetapi Ibnu Rusyd tidak mau kalah, dia lalu memberikan jawaban terhadap
keritik Al Ghazali tersebut dan menyerang balik Al Ghazali, dengan buku
nya yang berjudul tahafut al tahafut.
Tidak hanya sampai disini, serangan pena terhadap Al Ghazali oleh Ibnu
Rusyd terlihat sengit dengan buku yang ditulis Ibnu Rusyd fashl al maqal fi ma bayna al hikmah wa asy-syai’ah min al ittihal, _buku ini ditulis untuk mengkritik pendapat-pendapat Al Ghazali di kitab faishal al tafriqah bayna al islam wa az-zandaqah.[7]
Seperti
dikethui , sebelum melkukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali
terlebih dulu mempelajari filsafat (baca filsafat Yunani) secara khusus.
Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu
:
1. Dahriyyun (mirip aliran matrialisme).
2. Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis).
3. Ilahiyyun (mirip aliran Deisme).
Aliran
yang pertama mengingkari ketercipta’an alam. Alam senantiasa ada dengan
dirinya sendiri, takada yang menciptakan. Binatang tercipta dari nutfah
dan nufah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut
oleh al-Ghazali cebagai kaum zindik (Zanadikoh).
Aliran
yang kedua aliran yang bamyak meneliti dan mengagumi cipt’an Tuhan,
mengakui adanya Tuhan tapi justru mereka berkesimpulan” tidak mungkin
yang telah tiada kembali” menurtnya jiwa itu akan mati dan tidak akan
kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga,
siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurutal-Gazali meskipun aliran ini
meng-imani Tuhan dqab sufat-sifat-Nya, tetapi juga ternasuk Zandikoh
karena mengingkari hari akhir yang juga ternasuk pangkal iman.
Aliran
yang ketigha ialah kelpmpok ang dating paling kenudian diantara para
filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles.
Menurut al-Ghazali Aristoteles lah yang berhasul menyusun logika
(manthiq) dan ilmu penegtahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari
produk pemikiranya yang wajib dikafirkan.
Menurut
al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato,
dan Aristoteles, bahkan juga fisafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak
sesuai dengan yang dicarinya, bahkna kacau (tahafut). Mlahan ada yang
bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali
mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti
tertulis dalam kitab tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap
para filosof itu terdapat dalam dua puluh masalah yaitu : 1. Alam qadim
(tidak bermula); 2. Alam kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempuyai
sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins dan al-fashl (diferensia);
5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakikat); 6. Tuhan tidak mengetahui
juz’iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalh binatang
yang bergerak dengankemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juzi’yyat;
9. Hukum alam tak berubah; 10.
Jiwa
manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan
accident; 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya
pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok
kedua adalah kelompok ketidak sanggupan para Filosof membuktikan
hal-hal berikut : 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalh
cipta’an Tuhan; 15. Adanay Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17.
Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahhui wujud lain; 19.
Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20.[8] Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Menurt
al-Ghazali, dari dua puluh maslah tersebut, tiga diantaranya membawa
kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat
al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali
ditempat lain, karena mempunyai pendapt demikian tidak mesti dikafirkan.
Secara
naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi
untuk mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begiu saja bertaklid
kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok
alirandalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam
upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu, pertama, kelompok
teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intlektual dan pemikir.
Kedua, kelompok Bathiniyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam alin
Syia’ah Ismai’iliyah yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan
mendapat pengajran daripadnya sebara gaib. Ketiga, kelompok filosof,
yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat,
kelompok ahli tasawuf, yang diklatakan sebagai kalangan elitis Tuhan
(khawwash al-hadrah).
Melihat
semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan
belum menemukanya, al-Ghazali pernah selama dua bulan menglami penyakit
syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pecarianya setelah sembuh
dari penykitnya.
Sementara
ahli mengatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazlai adalh syak dalm
pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon
(1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran
obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu
menghindari idola (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan,
yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh
keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran
tersebut sampai secara induktif dapat mnyimpulkan kebenaran hakiki.
Menurut
al-Ghazali, kebenran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul
kebenaranya tanpa sdikitpun keraguan. Kata-nya ; Jika kuketahui sepuluh
adalh lebu\ih banyak dari tiga dan orang yang mengtakan sebaliknya
dengan bukti seajaib tingkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu
memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu
terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya
akan kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak
akan membuat aku ragu terhadap pengatahuanku.[9]
Dengan kata lain, disamping mengandung pengrtian tentang keykinan,
al-Ghazali dipihak lain, membenarkan pengtahuab yabg tudak empiric,
yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan
kekaguman dan kerguan (skeptik-metodik).
Pokok Perdebatan al-Ghazali
Dasar
pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak
dapat menrima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat
bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Maskipun al-Ghazali sendiri juga
berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof,
termasuk filosof muslim.
Berikut
ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang
beberapa masalah. Pertama; masah qadimnya alam, bahwa tercipta dengan
tidak brmula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali
yang qadim hanyalh Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits. Karena bila ada
yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulakn faham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang,
antara kaum teolog dan filosof terdapat perbeda’an tentang arti
al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats menndung arti
menciptakan dari tiada (creation ex nihilo), sedang bagi kaum filosof
berarti menciptakan dari ada. Kata Ibnu Rusyd, adam (tiada) tidak akan
bias berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adlah wujud berubah
menjadi wujud dalam dalam bentuk lain. Oleh karena itu, metri asal,
y6ang daru padany alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang
qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut
al-Ghazali, pencipta’an dari tiadalah yang memastikan adnya Pencipta.
Oleh sebab itu alam pasti baru dan diciptakan dari tiada.[10]
Dalam
pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptahan alam, yang ada hanyalah
Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya (Editor kitab Tahafut al-Falasifah)
mencatat al-Ghazali sebagai baiana al-falsifah wa al-mutakallimin,
karean sebara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi
secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi karena itu juga,
dilain pihak justru al-Ghazali dinilai kacau cara berfikirnya oleh Ibnu
Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali
itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang
terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosofdan
sebagai sufi.
c. Tasawuf
Berbagai
macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh
kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan. Ketika itu,
beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio,
berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali merasakan dirinya di
antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat
asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait
kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan
keberanian;
“ketika
masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya
sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan
pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah,
menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan
kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta
bid’ah”.[11]
[i]Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia.[12]
Perkembangan
yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk
memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat.
Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun
cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah
bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara
golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks
(pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini,
umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at.
Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling
tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai
berikut;“Keimanan
tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.Tingkat
kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid)
dengan sejenis dalil.Tingkatan ini masih dekat dengan golongan
awam.Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian
secara langsung dengan perantara nurul yaqin.[13]
Setelah
Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah
tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia
melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang
bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi”.[14]
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah,
mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara
langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang
dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan
kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu
dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”.[15]
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan
ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai
mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan
guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan
belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak
mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan
memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan
firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat
memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan
berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu
manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang
merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan
sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati
menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada
Allah.” [16]
Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali
Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni
yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin
Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh
al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya
itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis
yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah,
Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: “Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah
berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang
beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah
SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kema’rifatan, karena tidak ada
kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai
Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.”
Tasawuf
Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu
sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya
lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk
dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan,
sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.
Dalam
pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama
menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah,
hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun
menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu
:
1. Bab pertama : Tentang ibadah (rubu’ al-iabadah).
2. Bab kedua : Tentang adat istiadat (rubu’ al-adat).
3. Bab ketiga : Tentang hal-hal yang mencelakakakn (rubu’al-muhlikat).
4. Bab kekempat : Tentang maqamat dan ahwal (rubu’al-munjiyat).
Menurutnya,
perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan
pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh
karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral
atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.
[1] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala, 19/327 Beirut :Muassasah al-Risalah.
[2] .C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[4] Ibid, hlm. 94.
[8] Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Editor : DR. Sulaiman Dunya,Dar al-Ma’arif,Mesir.
[9] Al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5).
[10] Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, hal. 9.
[11] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta. Cet I. hal. 69. Th. 2000 M.
[12] Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet. II. Hal. 152. Th. 2002.
[13] Al-Ghazali, ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15.
[14] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 95
[15] Ibid 96
[16] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar