Hakikat Budaya Barat
Sesengguhnya kebudaya’an barat telah
sejak jaman dahulu telah menceraikan agama dari kehidupan sehari-hari,
dan hanya menganut tradisi atau perbendahara’an adat yang diwariskan
turun-temurun, kesenian,falsafah, ilmu pengetahuan sains dan teknologi
sebagai dasar hidup mereka.
Pemungkiran
dari kepercaya’an terhadap agama, yang telah menjadi sifat bawa’anya
itu,kemudian diperkuat oleh kekecewa’anya dalam pengalaman memeluk
agama Kristen, yang tidak berhasil menjamin keyakinan dan yang penuh
dengan duga’an.
Dulu ketika para
ilmuwan Yunani merenungkan masalah kejadian manusia dan alam semesta,
mereka sebetulnya sadar bahwa mereka itu sebenernya tidak beragama,
oleh karena itu mereka menderita lemah jiwa dan tidak merasa segar,aman
dan sentosa ketika hidup di dunia.
Mereka
sadar betapa perlunya sumber-sumber kepercaya’an yang kuat yang harus
diperoleh untuk menyuburkan semangat guna menangkis dan menentang
serangan-serangan serta pencerobohan-pencerobohan yang dilakukan oleh
bangsa farsi dan Negara lain yang mengelilingi Negara mereka.
Dengan
demikian maka timbullah ahli-ahli filsafat dikalangan mereka yang
merenungkan masalah hakikat serta kejadian alam semesta. Mereka telah
memunculkan pertanya’an-pertaya’an seperti: apakah hakikat dasar alam
ini?; apakah alam ini jadi dengan sendirinya?; apakah Tuhan yang
menjadikanya?; maujudkah Tuhan itu?-dan bagaimana caranya manusia dapat
mengetahui perkara-perkara ini, dan mencapai ilmu yang yaqin mengenai
jawaban permasalahan-permasalahn tersebut. Renungan-renungan dan
fikiran-fikiran mereka terus berputar dalam rangka memecahkan
permasalhan-permasalahan seperti ini. Akan tetapi , bagaimanapun
handalnya metode ilmiah yang menyusun serta mengatur jawaban-jawaban
yang dikemukakanya itu, namun mereka tidak dapat menyentuh perkara
asasi yang menjadi puncak pemikiran merreka, yaitu: apasih ilmu yang
dapat membawa kepada keyakinan? Justru sesungguhnya pada akhirnya
renungan fikiran murni itu hanya merupakan suatu teori belaka, dan
bukan ilmu , yaitu suatu duga’an atau sangka’an yang kebenaranya tidak
dapat disahkan. Lambat laun hingga sampai ke zaman Socrates dan
murid-muridnya seperti Plato dan Aristoteles, ahli-ahli filsafat Yunani
hanya dapat mengemukakan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang
rumit dan sulit seperti yang tersebut diatas, karena perkara keyakinan
ini tidak dapat di jangkau oleh filsafat, dan perkara-perkara ghaib itu
menghendaki syarat yang wajib diyakini, maka manusia hanya dapat
merenungkan serta menerpa alam yang nyata saja, dan menggunakan rencana
serta tata tertib hidupnya dengan yang dzahir itu tadi, dengan
menyusun cara hidup bermasyarakat yang dikawal oleh undang-undang dan
pimpinan yang berwibawa. Maka demi kesejahtera’anya dia harus berusaha
dan berfikir serta mengemukakan rencana-rencana untuk menegakkan suatu
Negara yang sempurna: Mengenai masalah kekosongan jiwa yang hidup tanpa
keyakinan itu, mereka menganjurkan bahwa manusia harus menerima
hakikat itu sebagai nasibnya yang mutlak, yang tidak dapat dielakkan,
dan harus dihadapi dengan keteguhan diri. Maka pendirian seperti inilah
yang juga merupakan bibit-bibit pemuja’an tragic hero “pahlawan
tragic” yang menjadi unsur utama dalam kesusastera’an Barat. Mereka
menegaskan bahwa bagi manusia untuk mencapai kesejahtera’an hidupnya,
dia tidak perlu mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang ghaib
yang tidak dapat diyakini, cukuplah manusia mengetahui dan mengenali
perkara-perkara yang dzahir saja, atau yang dapat diperhatikan oleh
ilmu-ilmu dzahir filsafat, sesuai rasio atau akal hayawani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar