Selamat Datang..!!Kecenderungan manusia untuk saling berbagi, membawanya berfikir dan memanfa'atkan segala media yang ada demi termanifestasikanya sebuah intraksi

Rabu, 02 November 2011

Hakikat Budaya Barat

Sesengguhnya kebudaya’an barat telah sejak jaman dahulu  telah menceraikan agama dari kehidupan sehari-hari, dan hanya menganut tradisi atau perbendahara’an adat yang diwariskan turun-temurun, kesenian,falsafah, ilmu pengetahuan sains dan teknologi sebagai dasar hidup mereka.
Pemungkiran dari kepercaya’an terhadap agama, yang telah menjadi sifat bawa’anya itu,kemudian diperkuat oleh kekecewa’anya dalam pengalaman memeluk agama Kristen, yang tidak berhasil menjamin keyakinan dan yang penuh dengan duga’an.
 Dulu ketika para ilmuwan Yunani merenungkan masalah kejadian manusia dan alam semesta, mereka sebetulnya sadar bahwa mereka itu sebenernya tidak beragama, oleh karena itu mereka menderita lemah jiwa dan tidak merasa segar,aman dan sentosa ketika hidup di dunia.
Mereka sadar betapa perlunya sumber-sumber kepercaya’an yang kuat yang harus diperoleh untuk menyuburkan semangat guna menangkis dan menentang  serangan-serangan serta pencerobohan-pencerobohan yang dilakukan oleh bangsa farsi dan Negara lain yang mengelilingi Negara mereka.
Dengan demikian maka timbullah ahli-ahli filsafat dikalangan mereka yang merenungkan masalah hakikat serta kejadian alam semesta. Mereka telah memunculkan pertanya’an-pertaya’an seperti:  apakah hakikat dasar alam ini?; apakah alam ini jadi dengan sendirinya?; apakah Tuhan yang menjadikanya?; maujudkah Tuhan itu?-dan bagaimana caranya manusia dapat mengetahui perkara-perkara ini, dan mencapai ilmu yang yaqin mengenai jawaban permasalahan-permasalahn tersebut. Renungan-renungan dan fikiran-fikiran mereka terus berputar dalam rangka memecahkan permasalhan-permasalahan seperti ini. Akan tetapi , bagaimanapun handalnya metode ilmiah yang menyusun serta mengatur  jawaban-jawaban yang dikemukakanya itu, namun mereka tidak dapat menyentuh perkara asasi yang menjadi puncak pemikiran merreka, yaitu: apasih ilmu yang dapat membawa kepada keyakinan? Justru sesungguhnya pada akhirnya renungan fikiran murni itu hanya merupakan suatu teori belaka, dan bukan ilmu , yaitu suatu duga’an atau sangka’an yang kebenaranya tidak dapat disahkan. Lambat laun hingga sampai ke zaman Socrates dan murid-muridnya seperti Plato dan Aristoteles, ahli-ahli filsafat Yunani hanya dapat mengemukakan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang  rumit dan sulit seperti yang tersebut diatas, karena perkara keyakinan ini tidak dapat di jangkau oleh filsafat, dan perkara-perkara ghaib itu menghendaki syarat yang wajib diyakini, maka manusia hanya dapat merenungkan serta menerpa alam yang nyata saja, dan menggunakan rencana serta tata tertib hidupnya dengan yang dzahir itu tadi, dengan menyusun cara hidup bermasyarakat yang dikawal oleh undang-undang dan pimpinan yang berwibawa. Maka demi kesejahtera’anya dia harus berusaha dan berfikir serta mengemukakan rencana-rencana untuk menegakkan suatu Negara yang sempurna: Mengenai masalah kekosongan jiwa yang hidup tanpa keyakinan itu, mereka menganjurkan bahwa manusia harus menerima hakikat itu sebagai nasibnya yang mutlak, yang tidak dapat dielakkan, dan harus dihadapi dengan keteguhan diri. Maka pendirian seperti inilah yang juga merupakan bibit-bibit pemuja’an tragic hero “pahlawan tragic” yang menjadi unsur utama dalam kesusastera’an Barat. Mereka menegaskan bahwa bagi manusia untuk mencapai kesejahtera’an hidupnya, dia tidak perlu mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang ghaib yang tidak dapat diyakini, cukuplah manusia mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang dzahir saja, atau yang dapat diperhatikan oleh ilmu-ilmu dzahir filsafat, sesuai rasio atau akal hayawani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar