Selamat Datang..!!Kecenderungan manusia untuk saling berbagi, membawanya berfikir dan memanfa'atkan segala media yang ada demi termanifestasikanya sebuah intraksi

Rabu, 30 November 2011

Kontribusi PERSIS Terhadap Kajian Hadits di Indonesia

I. Pembahasan
Seajarah perkembangan pembaharuan keislaman di Indonesia dipelopori oleh lahirnya beberapa jam’iyyah diniyyah (organisasi keagama’an) termasuk jam’iyah Persatuan Islam Indonesia (PERSIS).Persatuan Islam mempunyai posisi yang potensial dalam kehidupan social keagama’an di Indonesia. Keberada’anya sebagai organisasi social keagama’an mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat baik yang menyangkut system budaya maupun system social.[1]
Lahirnya Persis diawali dengan terbantuknya suatau kelompok tadarusan (penela’ahan agama Islam di Bandung yang dipimpin oleh H.Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjama’ah, berimamah dalam menyebarkan syiar Islam,menumbuhkan semangat kelompok ini ini untuk mendirkan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karakteristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (PERSIS). Nama Persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai haarapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah 103: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian tali (undang-undang)/aturan Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai “.Serta sbuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi “Kekuatan Allah itu bersama jama’ah”
Atas prakarsa H.Zamzam (1894-1952 M) Dan H.Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M.didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (PERSIS) untk menyatukan pemahman keislaman di Indonesia dengan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[2]
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah Arab Saudi ini tampil berdakwah sekaligus menetang segala praktik-praktik keagama’an yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga menurut Ahmad Mansyur menetnag imperealis Barat,keraja’an Protestan Belanda dan Pemerintahan Belanda yang bercokol di Indonesia.
Diantara tokoh-tokoh yang terkenal dalam PERSIS adalah Ahmad Hassan yang juga sedikit banyak telah mewaranai khazanah perkembangan hadits di Indonesia.A.Hasaan merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsa’an ataua nasionalisme yang sedang diperjuangakn Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Perserikatan Nasioonal Indonesia (PNI).[1]
A.Hassan memimpin majalah “Pembela Islam” pada tahun 1929 di Bandung[2]
A.Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya.Kebebasan untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu madzhab seperti yang ditekankan A.Hassan diharapkan mengurangi satu diantara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid madzhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau.Ajakan A.Hassan untuk merujukan pandangan langsung terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut khususnya ilmu Hadits dan Ushul Fiqh yang pada masa itu masih bersifat “elit” dengan kata lain A.Hassan telah memberikan dorongan dan kebebasan dan pendalaman studi Islam.[3]
Pemikiran A.Hassan sering dianggap dengan  suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan karna karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdloh, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah.
Dalam prinsip ijtihad A.Hassan menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang sahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkanya fatwa para kyai, terutama karna tidak diketahui rujukan nashnya atau bertentangan dengan nash. Kalapun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nash yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konsekwensi dari daya kritisnya, A.Hassan sanagt menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasanya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’ yaitu mengikuuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenaranya. Dalam beristimbath A.Hassan lebih memegang lafadz  (kata) yamg lebih jelas (dzahir) dala menyimpulkan hukum A.Hassan berpegang p[ada dzahir nash dan menolak takwil.
A.Hassan sesungguhnya tidak meninggalkan karya tulis yang secara khusus membahas ilmmu hadits serta cabang-cabangnya, hanya saja dalam beberapa karya tulisnya  terdapat beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ilmu hadits,umpamanya buku ringkasan Islam yang ditulis oleh A.Hassan pada tahun 1939 M yang kemudian diterbiitkan pertama kali pada tahun 1972 M.,didalamnya pada fashal kedua secara khusus menerangkan pengrtian hadits serta pembagianya dan sejarah perkembangan hadits.[4]
Pemikiran A.Hassan Tentang Hadits
A.Pengertian Hadits, Sunnah, dan Atsar
Hadits secara bahsa berarti perkata’an,pembicara’an, percakapan, sesuatu yang baru, dqan khabaran.
Menurut istilah maksudnya ialah perkata’an, perbuatan dan hal-hal Raaaaasul juga taqrirnya yaitu perbuatan atau percakapan sahabat yang dikatahuui oleh Rasulullh Muhammad SAW, tetapi dibiarkanya.[5]
Sunnah menurut bahsa berarti perjalanan, perrturan, tabi’aat dan syri’at.Menurut istilah sunnah sama dengan hadits[6] Sedang atsar itu adalah perkata’an sahabat[7] Dmikian A.Hassan mengemukakan penjelasan mengenai iga term (istilah tersebut.
B. Pemabagian Hadits
Hadits atau sunnah yang terdapat dalam kitab-kitab hadits yang terkenal ditinajau dari sisi jumlah periwayatanya terbagi kepada dua macam : (1) mutawattir, (2) ahad.
Hadits mutawatir adalah haadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW oleh beberapa banyak manusia kepada beberapa banyak manusia dan seterusnya demikia hingga tercatat dengan beberapa sanad pula.[8]
Adapun hadits ahad terbagi mnjadi tig macam: (1) Hadits masyhur atau mustafid yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan daru Nabi Muhammad SAW oleh tiga orang atau lebih kepada iga orang atau lebih, dan seterusnya begitu hingga tercatat dengan sanad yang sekurrang-kurangnya tiga. (2) Hadits ‘aziz yakni hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhamamd SAW oleh dua orng kepada dua orang dan seterusnya hingga trcatat dengan dua sanad. (3) Hadits gharib yakni hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW oleh seorang kepada seorang dan seterusnya demikian hingga tercatat dengan satu sanad.[9]
Hadits mutawattir sudah pasti maqbul yang termasuk hadits ashah yakni yang terlbih sah, kecuali bila kandungan matan-nya bertentangan dengan AL-Qur’an .[10]Hadits ahad ada yang maqbul (diterima) dan ada pula yang mardud (ditolak).

 [1] Badri Khaeruman, Drs. M.Ag

[2] Ahmad Mansyur Suryanegara: Api Sejarah (Slamadani Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483)

[1] Ahmad Mansyur Suryanegara. Hal 478

[2] Howard M.Federspiel, Persatuan Islamic Reform in Twetieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press, 1996 M.), h.25

[3] Syafiq A.Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I:Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001 M.), h. 139.

[4] A.Hassan, Ringkasan Islam, op. Cit., h. 17

[5] A.Hassan, Ringkasan Islam, (Bangiol: AL-Muslimun, 1972 M.), h. 11

[6] Ibid; lihat pula A.Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushulfiqh”, dalam Tarjamah Bulugh al-Marsm, (Cet. XXV;Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.),h. 15, selanjutnay disebut “Muqaddimah Ilmu hadits “ saja.

[7] Ibid., h. 2

[8] Ibid., h. 10; lilhat pula A.Hassan, Ringkasan Islam , loc. cit

[9] A.Hassan, “Muqaddimah ILmu Hadits”, lopc. Cit.

[10] Ibid.; A.Hassan, Ringkaasan Islam, op. cit., h. 12

[1] Badri Khaeruman, Drs. M.Ag

[2] Ahmad Mansyur Suryanegara: Api Sejarah (Slamadani Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483)

Minggu, 27 November 2011

Qalbu




                            Qalbu adalah Singgasana Allah
Pusat kendali diri setiap manusia
Landasan penampakkan Al Haq
Ranah hamparan kasih rahmatNya

Wali Allah...Siapa mereka...???

Ibn Taymiyyah menyebutkan dalam Majmu'a Fatawa jilid 10, halaman 190: "Seorang hamba ALLAH Subhanahu wa Ta'ala, tak dapat disebut sebagai seorang wali, kecuali ia adalah seorang mu'min yang benar. ALLAH menyebutkan dalam Al-Qur'an, Surat Yunus (10), ayat 62-63: 'Ingatlah sesungguhnya wali-wali ALLAH itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati; mereka yang beriman dan selalu bertaqwa.'"

Hakikat Budaya Barat

Sesengguhnya kebudaya’an barat telah sejak jaman dahulu  telah menceraikan agama dari kehidupan sehari-hari, dan hanya menganut tradisi atau perbendahara’an adat yang diwariskan turun-temurun, kesenian,falsafah, ilmu pengetahuan sains dan teknologi sebagai dasar hidup mereka.
Pemungkiran dari kepercaya’an terhadap agama, yang telah menjadi sifat bawa’anya itu,kemudian diperkuat oleh kekecewa’anya dalam pengalaman memeluk agama Kristen, yang tidak berhasil menjamin keyakinan dan yang penuh dengan duga’an.

Pemikiran Al-Ghazali

Pendahuluan
Ketokohan dan kesarjana’an al-Ghazali  dalam beberapa bidang tidak dapat dinafikkan. Sumbangsih beliau dalam berbagai pemikiran disiplin ilmu telah beliau telorkan, baik pemikiran beliau mengenai ushuluddin, akidah, filsafat, fiqh, tasawuf, pendidkan dan lain sebagainya, melalui bukti kitab-kitab karya  beliau.
 Dalam ushuluddin dan akidah kita mengenal karya beliau yaitu:
1.      Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahiru al-Qur’an.
2.      Qawaidul Aqaid, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3.      Al-Iqtishad Fi al-I’tikad

Rabu, 23 November 2011

BAROKAH BISA DIRASA TIDAK BISA DIRABA

Barokah berasal dari bahasa Arab baaroka بارك يبارك مباركا ومباركتا, yang secara bahasa (etimologi) berarti semakin bertambahnya kebaikan atau manfa’at (ziyadatu al-khoiri awi al-naf’i). menurut kamus al-Muhith, barokah berawal dari arti kata bergerak, tumbuh;berkembang; dan bahagia. Dari sini, para ulama kemudian mendefinisikan barokah sebagai “bertambahnya manfa’at dan kebaikan dalam setiap hal yang kita lakukan waktu demi waktu”. Ada juga yang mengartikan barokah sebagai kebaikan belimpah yang diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barokah juga dapat diartikan sebagai kepeka’an untukselalu bersikap baik dan benar.

Sabtu, 19 November 2011

Simiotika dan yang Transenden

Menarik sekali membaca penulisan ulang Ramayana oleh romo Sindhunata dalam novel anak bajang menggiring angin Kisah bermula dengan Begawan Wisrawa yang mencoba meminangkan Dewi Sukesi dari Alengka untuk dipersunting anaknya, Prabu Danareja. Namun Sukesi hanya ingin mengawini seseorang yang dapat menjelaskan hakikat sasta jendra hayuningrat pangruwating diyu. Begawan Wisrawa memiliki kemampuan tersebut. Walaupun penyingkapan hakikat itu begitu berbahaya, karena dapat mengaburkan tatanan semesta. Sastra Jendra menyingkap rahasia kesatuan semesta, dimana kemajemukan ciptaan pada akhirnya hanyalah ketunggalan azali.

Rabu, 16 November 2011

Ibadahku Bukan Jaminan Surgaku


          

Firman Allah: "Wa rahmati wasi'at ghadzabi" (dan kasih sayangKu melampaui/mencakup murkaKu")

Hadits Qudsi ini yang langsung muncul di benakku manakala teringat kisah-kisah seperti cerita tentang Umar bin Khattab dan burung emprit di Kitab Ushfuriyyah yang populer di pesantren.

Selasa, 15 November 2011

TAKBIR KONTEMPORER TAK SEMUJARAB TAKBIR CLASSIC


 
KH.Hasyim Asy’ari menyuruh santri-santrinya untuk bersama-sama berangkat menuju Surabaya, yang pada waktu itu diserang oleh Belanda, lalu si santri minta bekal terhadap KH.Hasyim Asy’ari, Kyai Hasyim hanya memberi bekal terhadap mereka lafadz “Allahu Akbar”, dengan lafadz Allahu Akbar inilah sang Kyai dan santri-santrinya bisa mengusir Belanda dari Surabaya.Ya…!lafadz Allahu Akbar, sekali sang Kyai dan santrinya memijakkan kakinya ke bumi (nggejog bumi), bumi langsung bergetar. SubhanAllah..!dahulu betapa hebatnya lafadz itu.

Senin, 14 November 2011

QISSOH


 
“QISSOH”
Suatu ketika ada tiga rakyat  dipanggil oleh sang Raja, yang pertama namanya Pak awal, kedua namanya Pak Sani dan yang ketiga pak Salis, sengaja pake istilah Arab supaya mudah dalam mengingatnya, maklum nasabnya semi Arab, hehe just kidding.

Senin, 07 November 2011





Innannafsa la ammarotun bissu' illa maa rohima robb innna Rabbii Ghafuurun Raheem.” Surat Yusuf ayat 53.

“(Berkata Nabi Yusuf) Aku tidak bisa membebaskan diriku dari nafsuku. Karena nafsu itu akan selalu membawa(ku) kedalam kejahatan, kecuali jika ALLAH mengasihani(ku). Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun dan Penyayang.” Surat Yusuf ayat 53.
Batas Tipis Cinta Dan Nafsu

Sabtu, 05 November 2011

Happines and Socrates

Di Yunani kuno, Socrates terkenal memiliki pengetahuan yang tinggi dan sangat terhormat....
Suatu hari seorang kenalannya bertemu dengan filsuf besar itu dan berkata, "Tahukah Anda apa yang saya dengar tentang teman Anda?" "Tunggu beberapa menit," Socrates menjawab.

Kamis, 03 November 2011




Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang ini diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas di masarakat, baik pada ranah sosial, ekonomi, hokum dan lain sebagainya. Ini penting karena pesantren merupakan kawah candradimuka bagi munculnya agent of social change. Dan negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas..
Eksistensi API yang sampai sekarang masih mempertahankan kesalafanya, merupakan bukti konsistensinya dalam mencetak agent of social change.

Rabu, 02 November 2011

Tasawuf

Tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.

Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.

Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persiaada aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal.
Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya.Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr binAsh. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw.menegurnya dengan sabdanya:
 "Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul),dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya."
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh dari pada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya."
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.Sabda beliau:
"Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu;tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku."
Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini.
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam).
Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat
Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin." Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.

Hakikat Budaya Barat

Sesengguhnya kebudaya’an barat telah sejak jaman dahulu  telah menceraikan agama dari kehidupan sehari-hari, dan hanya menganut tradisi atau perbendahara’an adat yang diwariskan turun-temurun, kesenian,falsafah, ilmu pengetahuan sains dan teknologi sebagai dasar hidup mereka.
Pemungkiran dari kepercaya’an terhadap agama, yang telah menjadi sifat bawa’anya itu,kemudian diperkuat oleh kekecewa’anya dalam pengalaman memeluk agama Kristen, yang tidak berhasil menjamin keyakinan dan yang penuh dengan duga’an.
 Dulu ketika para ilmuwan Yunani merenungkan masalah kejadian manusia dan alam semesta, mereka sebetulnya sadar bahwa mereka itu sebenernya tidak beragama, oleh karena itu mereka menderita lemah jiwa dan tidak merasa segar,aman dan sentosa ketika hidup di dunia.
Mereka sadar betapa perlunya sumber-sumber kepercaya’an yang kuat yang harus diperoleh untuk menyuburkan semangat guna menangkis dan menentang  serangan-serangan serta pencerobohan-pencerobohan yang dilakukan oleh bangsa farsi dan Negara lain yang mengelilingi Negara mereka.
Dengan demikian maka timbullah ahli-ahli filsafat dikalangan mereka yang merenungkan masalah hakikat serta kejadian alam semesta. Mereka telah memunculkan pertanya’an-pertaya’an seperti:  apakah hakikat dasar alam ini?; apakah alam ini jadi dengan sendirinya?; apakah Tuhan yang menjadikanya?; maujudkah Tuhan itu?-dan bagaimana caranya manusia dapat mengetahui perkara-perkara ini, dan mencapai ilmu yang yaqin mengenai jawaban permasalahan-permasalahn tersebut. Renungan-renungan dan fikiran-fikiran mereka terus berputar dalam rangka memecahkan permasalhan-permasalahan seperti ini. Akan tetapi , bagaimanapun handalnya metode ilmiah yang menyusun serta mengatur  jawaban-jawaban yang dikemukakanya itu, namun mereka tidak dapat menyentuh perkara asasi yang menjadi puncak pemikiran merreka, yaitu: apasih ilmu yang dapat membawa kepada keyakinan? Justru sesungguhnya pada akhirnya renungan fikiran murni itu hanya merupakan suatu teori belaka, dan bukan ilmu , yaitu suatu duga’an atau sangka’an yang kebenaranya tidak dapat disahkan. Lambat laun hingga sampai ke zaman Socrates dan murid-muridnya seperti Plato dan Aristoteles, ahli-ahli filsafat Yunani hanya dapat mengemukakan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang  rumit dan sulit seperti yang tersebut diatas, karena perkara keyakinan ini tidak dapat di jangkau oleh filsafat, dan perkara-perkara ghaib itu menghendaki syarat yang wajib diyakini, maka manusia hanya dapat merenungkan serta menerpa alam yang nyata saja, dan menggunakan rencana serta tata tertib hidupnya dengan yang dzahir itu tadi, dengan menyusun cara hidup bermasyarakat yang dikawal oleh undang-undang dan pimpinan yang berwibawa. Maka demi kesejahtera’anya dia harus berusaha dan berfikir serta mengemukakan rencana-rencana untuk menegakkan suatu Negara yang sempurna: Mengenai masalah kekosongan jiwa yang hidup tanpa keyakinan itu, mereka menganjurkan bahwa manusia harus menerima hakikat itu sebagai nasibnya yang mutlak, yang tidak dapat dielakkan, dan harus dihadapi dengan keteguhan diri. Maka pendirian seperti inilah yang juga merupakan bibit-bibit pemuja’an tragic hero “pahlawan tragic” yang menjadi unsur utama dalam kesusastera’an Barat. Mereka menegaskan bahwa bagi manusia untuk mencapai kesejahtera’an hidupnya, dia tidak perlu mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang ghaib yang tidak dapat diyakini, cukuplah manusia mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang dzahir saja, atau yang dapat diperhatikan oleh ilmu-ilmu dzahir filsafat, sesuai rasio atau akal hayawani.

Selasa, 01 November 2011

Ikuti


Apakah benar serangan al-Ghazali, seperti yang tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah, telah membuat fisafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak berkembang di dunia Islam..?
Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsaft..?
Temukan jawabnya dengan mengikuti...


Pemikran Al-Ghazali


Pendahuluan
Ketokohan dan kesarjana’an al-Ghazali  dalam beberapa bidang tidak dapat dinafikkan. Sumbangsih beliau dalam berbagai pemikiran disiplin ilmu telah beliau telorkan, baik pemikiran beliau mengenai ushuluddin, akidah, filsafat, fiqh, tasawuf, pendidkan dan lain sebagainya, melalui bukti kitab-kitab karya  beliau.
 Dalam ushuluddin dan akidah kita mengenal karya beliau yaitu:
1.      Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahiru al-Qur’an.
2.      Qawaidul Aqaid, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3.      Al-Iqtishad Fi al-I’tikad
4.      Tahafut Al-Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah madzhab Asy’ariyah.
5.      Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zabsiqah.
Dalam ilmu ushul, fikih, fisafat, mantiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, diantaranya:
1.      Al-Mustashfa Min al-Ilmi al-Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fikih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar mantiq dab pembahasan ilmukalamnya. Mahakun Nadzar.
2.      Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq
3.      Ma’ariful Aqliyah. kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdul Karim Ali Utsman
4.      Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
5.      Al Maqashad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Mizanul Amal. KItab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
6.      Al Madhmun Bihi Ala Ghairi AhlihiAl Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masa’il Ukhrawiyah.
7.      Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
8.      Qanun At Ta’wil.
9.      Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini meripakan bantahan beliau terhadap sekte bathiniyah.
10.  Iljamul Awam An Ilmil Kalam. KItab ini telah diterbitkan berulangkali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tasim Billah Al Baghdadi.
11.  Raudlatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, deterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
12.  Arrisalah Alladuniyah.
13.  Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang paling populer dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia, dan yang akan kita diskusikan besok pada tanggal 12 November 2011.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam sejarah Al-Ghazali banyak sekali menerima kritikan, sehingga ada seorang sultan yang memerintahkan agar kitab-kitab beliau dibakar. Al-Hafidz al-Dzahabi (meninggal 748H) mengutip dari Mu’jam Abi Al- Sadafi “Al-Syeikh Abu Hamid mempunyai berita-berita yang buruk dan karya-karya yang besar meliputi tariqat,tasawuf, filsafat itu semua beliau tuliskan demi membela madzhabnya, dan untuk mengajak manusia supaya mangikuti madzhabnya. Sebagian orang telah berburuk sangka terhadap Al-Ghazali, telah dilaksanakan perintah sultan di negeri kami al-Maghribi (Andalus), juga fatwa para fuqoha agar kitab-kitab al-Ghazali dijauhi dan dibakar, dan ini semua telah dilaksankan”[1]
Namun juga tak jarang orang yang mengaguminya, seperti yang dituturkan oleh Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London Inggris, tahun 1944, Smith mengatakan “Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa”. Masih menurut Smith, salah seorang pemikir Kristen terkemuka yaitu ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M), Sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali . Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan di Barat. Ia telah mengakui kehebatan al-Ghazali dan merasa telah berhutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran –pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudaya’an dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidkan Barat. Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-anganya bahwa seandaina ada seorang nabi setelah Muhammad, maka al-Ghazali-lah orangnya (R.A Nicholson, 1976). pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Pembahasan
A.Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan Iran,  pada tahun 450 H/1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra  yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[2] Disini penulis sengaja menulis sedikit tentang biografi al-Ghazali, karna fokus bahasan ini penulis tekankan terhadap “pemikiran beliau” sebagai pengantar diskusi HMJ Ushuluddin STAIN Pekalongan.
B.Pemikiran Al-Ghazali.
a.      Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatianya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutama’an dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagia’an diakhirat serta sebagai alat untu mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendididkan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadianya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[3] Maka system pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikam itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1.      Mendekatkan diri kepda Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3.      Mewujudkan profesionalitas manusisa untuk mengemban tugas kedunia’an dengan sebaik-baiknya.
4.      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendfaham budi dan sifat-sifat tercela.
5.      Mengembangkan sifat-sufatr manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan manurut al-Ghazali, dapat dimengrti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam persepsisnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalau bergantung pada orang lain. Dlam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangakn yang menjdi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[4]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagia’an dunia akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.Manusia adalah sebyek pendidikan, sedangakan pendidikan itu sangat penting.  Bagi  al-Ghazali metode pendidkan ada dua :
1.      Metode khusu pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prisipnya dimulai dengan hafaln dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang biasa menunajang penguatan akidah.
2.      Metode khusus pendidikan akhlak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : Suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[5]
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pemdidikan itu harus mengarah kepada pemebntukan ahlak mulia, sehingga ia menjadikan al-Qur’an sebagau kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga mnyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pemdina’an itu adadua yaitu :
1.      Kesempurna’an insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
2.      Kesempurna’an insani yang bermuara pada kebahagia’an dunia dan akhirat.

b.      Filasafat.
Tidak berlebihan jika kita mengatakan Al Ghazali adalah sang pemikir besar didalam Islam. Karna dia memberikan pengaruh yang sangat besar dan memberikan wajah baru pada dunia Islam. Hal ini terbukti dari kemampuannya mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai keislaman yang sangat merosot pada saat itu.
Ia hidup disaat nilai keislaman mengalami dekadensi sedemikian rupa dan keimanan pada dasar-dasar kenabian serta hakekat dan pengamalan agama yang sangat merosot. Penafsiran filosufis yang dilakukkan oleh filsuf Islam sebellumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani.[6]
 Dalam menyampaikan pendapatnya, Al Ghazali banyak mengeritik para filsuf dengan bukunya yang berjudul tahafut al falasifah, Tetapi Ibnu Rusyd tidak mau kalah, dia lalu memberikan jawaban terhadap keritik Al Ghazali tersebut dan menyerang balik Al Ghazali, dengan buku nya yang berjudul tahafut al tahafut. Tidak hanya sampai disini, serangan pena terhadap Al Ghazali oleh Ibnu Rusyd terlihat sengit dengan buku yang ditulis Ibnu Rusyd fashl al maqal fi ma bayna al hikmah wa asy-syai’ah min al ittihal, _buku ini ditulis untuk mengkritik pendapat-pendapat Al Ghazali di kitab faishal al tafriqah bayna al islam wa az-zandaqah.[7]
Seperti dikethui , sebelum melkukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dulu mempelajari filsafat (baca filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu :
1.      Dahriyyun (mirip aliran matrialisme).
2.      Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis).
3.      Ilahiyyun (mirip aliran Deisme).
Aliran yang pertama mengingkari ketercipta’an alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, takada yang menciptakan. Binatang tercipta dari nutfah dan nufah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali cebagai kaum zindik (Zanadikoh).
Aliran yang kedua aliran yang bamyak meneliti dan mengagumi cipt’an Tuhan, mengakui adanya Tuhan tapi justru mereka berkesimpulan” tidak mungkin yang telah tiada kembali” menurtnya jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurutal-Gazali meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dqab sufat-sifat-Nya, tetapi juga ternasuk Zandikoh karena mengingkari hari akhir yang juga ternasuk pangkal iman.
Aliran yang ketigha ialah kelpmpok ang dating paling kenudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Menurut al-Ghazali Aristoteles lah yang berhasul menyusun logika (manthiq) dan ilmu penegtahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikiranya yang wajib dikafirkan.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga fisafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkna kacau (tahafut). Mlahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh masalah yaitu : 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alam kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempuyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakikat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalh binatang yang bergerak dengankemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juzi’yyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10.
Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan accident; 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok ketidak sanggupan para Filosof membuktikan hal-hal berikut : 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalh cipta’an Tuhan; 15. Adanay Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahhui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20.[8] Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Menurt al-Ghazali, dari dua puluh maslah tersebut, tiga diantaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali ditempat lain, karena mempunyai pendapt demikian tidak mesti dikafirkan.
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begiu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok alirandalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu, pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intlektual dan pemikir. Kedua, kelompok Bathiniyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam alin Syia’ah Ismai’iliyah yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajran daripadnya sebara gaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang diklatakan sebagai kalangan elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).
Melihat semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan belum menemukanya, al-Ghazali pernah selama dua bulan menglami penyakit syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pecarianya setelah sembuh dari penykitnya.
Sementara ahli mengatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazlai adalh syak dalm pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari idola (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif dapat mnyimpulkan kebenaran hakiki.
Menurut al-Ghazali, kebenran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenaranya tanpa sdikitpun keraguan. Kata-nya ; Jika kuketahui sepuluh adalh lebu\ih banyak dari tiga dan orang yang mengtakan sebaliknya dengan bukti seajaib tingkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengatahuanku.[9] Dengan kata lain, disamping mengandung pengrtian tentang keykinan, al-Ghazali dipihak lain, membenarkan pengtahuab yabg tudak empiric, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan kerguan (skeptik-metodik).
Pokok Perdebatan al-Ghazali
Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menrima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Maskipun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim.
Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang beberapa masalah. Pertama; masah qadimnya alam, bahwa tercipta dengan tidak brmula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalh Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits. Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulakn faham:
1.      Banyaknya yang qadim atau banyknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
2.      Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbeda’an tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats menndung arti menciptakan dari tiada (creation ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari ada. Kata Ibnu Rusyd, adam (tiada) tidak akan bias berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adlah wujud berubah menjadi wujud dalam dalam bentuk lain. Oleh karena itu, metri asal, y6ang daru padany alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, pencipta’an dari tiadalah yang memastikan adnya Pencipta. Oleh sebab itu alam pasti baru dan diciptakan dari tiada.[10]
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptahan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya (Editor kitab Tahafut al-Falasifah) mencatat al-Ghazali sebagai baiana al-falsifah wa al-mutakallimin, karean sebara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi karena itu juga, dilain pihak justru al-Ghazali dinilai kacau cara berfikirnya oleh Ibnu Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosofdan sebagai sufi.
           
c.       Tasawuf
Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi.  Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian;
“ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.[11]
[i]Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia.[12]
Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.[13]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi”.[14]
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”.[15]
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.” [16]
Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali
Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kema’rifatan, karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.
Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :
1.      Bab pertama : Tentang ibadah (rubu’ al-iabadah).
2.      Bab kedua : Tentang adat istiadat (rubu’ al-adat).
3.      Bab ketiga : Tentang hal-hal yang mencelakakakn (rubu’al-muhlikat).
4.      Bab kekempat : Tentang maqamat dan ahwal (rubu’al-munjiyat).
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.




[1]  Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala, 19/327 Beirut :Muassasah al-Risalah.
[2] .C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[4] Ibid, hlm. 94.
[5]  Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[6] Drs. H. A. Mustofa, filsafat islam, Bandung; Pustaka Setia, 2007, halaman.217.
[7] Zuhairi misrawi, Ibnu rusyd gerbang pencerahan timur dan barat, kramat jati Jakarta
[8] Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Editor : DR. Sulaiman Dunya,Dar  al-Ma’arif,Mesir.
[9] Al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5).
[10] Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, hal. 9.
[11] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta. Cet I. hal. 69. Th. 2000 M.
[12] Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet. II. Hal. 152. Th. 2002.
[13] Al-Ghazali, ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15.
[14] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 95
[15] Ibid 96
[16] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96